Selasa, 26 April 2011

Jin Buang Anak di Wanamarta

/cihui   
ANGKANYA sama, 32. Yang beda cuma maksudnya. Angka selapan kurang tiga itu bukan genapnya kaum bidadari dunia. Itu bilangan peserta Piala Dunia 2010 yang hari ini kesaring tinggal jadi 16 tok. Prancis mbarek Italia yang biasa digadang-gadang masuk final, hehehe…jeblok juga. Wong untuk masuk 16 besar saja mereka gak dapet pintu. Yang gak dinyana-nyana seperti Slovakia, Korea Selatan, Jepang, Meksiko malah lulus seleksi di negara orang-orang kulit manggis itu.

Ini membuat Gareng bikin analisa. Kalau begitu partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, dan PDI-P yang dilelo-ledung masuk final Pemilu 2014, bahkan perempat final juga belum tentu nyemplung. Mungkin saja lho nanti yang nepuk dada malah partainya Paijo dan Paijem. Paijo kalau tidak salah bikin calon partai Nasional Demonstran. Paijem bikin calon partai nasional apa gitu..Oh, ini, partai lokal Nasional Lumpur Jawa Timur.

Dua-duanya tidak punya dana kampanye. Wong makannya saja kalah mahal ketimbang kelincinya Prabu Duryudana. Apalagi kalau harus mbayari konsultan politik kayak Batara Narada dan Batari Durga yang lihai mengubah citra para calon.
Mahal lho. Dan, biasanya sukses. Calon akhirnya terpilih.
Batara Narada pernah ndandani Subadra dan Srikandi. Tak tanggung-tanggung jadi perempuan yang berbeda sama sekali. Keduanya malah dadi wong lanang. Masing-masing jadi Bambang Sintawaka dan Bambang Kandihawa. Dengan topeng tersebut kedua istri Arjuna ini mencari suaminya yang ndak pulang-pulang. Padahal Arjuna bukan sopir truk jalur pantura yang di belakang baknya tertulis ”Jangan Kau Buat Aku Duda Nestapa”.
Ooo…Amenangi zaman edan
Sopo sing gak dandan gak kumanan
Nanging sakbejo-bejone wong sing dandan
Luwih bejo maneh wong sing dandan tapi tambah terus dandan
Masih soal macak-memacak, dengan bayaran yang jauh lebih selangit, Batari Durga dari Setra Gandamayit pernah maesi Burisrawa yang bermuka raksasa menjadi pemuda berparas ganteng tatkala anak Prabu Salya ini gandrung-gandrung kapirangu pada Dewi Subadra dari Mandura. Sama tampannya dengan Arjuna. Nyaris saja Subadra alias Rara Ireng terkecoh. Persis pada umumnya masyarakat ngiler tergiur mencontreng orang-orang maupun partai-partai hanya gara-gara kepincut polesan juru rias politik.
Untung waktu itu ponokawan Semar membuat Mbok Badra eling. Orang jangan dinilai dari tampang, penampilan atau kampanyenya. Adik Prabu Baladewa dan Kresna ini ingat buah dondong. Mukanya bagus tapi isinya berduri. Lalu Subadra inget kulitnya sendiri yang seperti buah manggis. Mampirlah kenangannya pada lagu Rhoma Irama yang dibawakan Rita Sugiarto…hitam kulitnya hitam…tetapi putih isinya..itulah…manggis namanya….
Setelah Subadra alias Bratajaya siuman, Semar alias Badranaya kasih garis bawah, ”Sejatinya kalau semua kita selalu eling lan waspodo perumpamaan manggis dan kedondong, semua konsultan politik itu akan gulung tikar. Mata hati masyarakat sepertinya akan dipolesi minyak jayeng katon milik Ndoro Arjuna. Mata mereka akan tembus langsung sanggup menerawang isi, bukan cuma melihat kulit-kulit bikinan konsultan politik.”
***
Paijo dan Paijem dalam mencalonkan diri belajar dari kesaksian ponokawan Petruk ketika nderek Pandawa babad hutan Wanamarta. Menurut Petruk, kampanye Prabu Yudistira dan seluruh adik-adik Pandawa tidak pakai mulut dan pengeras suara maupun spanduk dan iklan-iklan. Mereka langsung bekerja di dapil alias daerah pemilihan tersebut.
Suri tauladan itulah yang diambil oleh Paijo dan Paijem. Keduanya langsung bekerja di dapilnya masing-masing lima tahun sebelum pemilu berlangsung. Nanti pas pemilu ndak pakai kampanye-kampanyean karena masyarakat sudah mengenal mereka.
Coba, kurang apa Wanamarta alias Kandawaprasta. Awalnya kawasan itu ibarat kandang jin buang anak. Bos jin bernama Yudhistira. Adik-adiknya bernama Dandunwacana, Kombang Ali-ali, serta Nakula-Sadewa. Tapi saking nge-fansnya pada kerja nyata Pandawa yaitu Puntadewa, Bima, Arjuna, dan kembar Pingten-Tangsen sampai-sampai jin-jin yang semula anti itu kemudian bergabung. Mereka malah sampai menghadiahi namanya masing-masing. Puntadewa jadi Yudhistira. Bima salin Dandunwacana. Arjuna malih Kombang Ali-ali. Kembar tambah julukan Nakula-Sadewa.
Paijo lebih fokus pada tauladan Pingten. Dia mengerjakan pertanian dan penghijauan di tiga kabupaten dapilnya. Dalam tempo hampir 3 tahun, penduduk sudah bisa merasakan kerja Pingten. Tak cuma sawah dan tegal penuh tanaman. Pekarangan belakang penduduk telah menjadi karangkitri, penuh tanaman obat-obatan dan lalap-lalapan. Sekali dua kali, Paijo meniru Puntadewa mengajarkan olah spiritual, meneladani Arjuna melatih bela diri, tut wuri Bima membangun infrastuktur pedesaan seperti jalan dan irigasi.
Paijem di dapil lain juga seperti itu. Ia tiru Puntadewa, Bima, dan Arjuna, tapi ia tidak lebih fokus pada tulada alias contoh Pingten sebagai pemelihara flora. Titik berat Paijem lebih pada palupi atau tauladan Tangsen sebagai pemelihara fauna. Rata-rata penduduk di tiga kabupaten dapil Paijem sekarang telah memiliki kambing, kerbau, dan sapi yang montok-montok dan semok-semok. Setiap hari terdengar lenguhan kerbau-sapi dan kambing mengembik selain suara kutilang, podang, gelatik, dan lain-lain di dahan ranting, di pohon-pohon, baur dengan bunyi ayam bekisar dan para jengkerik.
***
Tahun 2014.
Sekarang yang agak kewalahan Bagong. Konco-konco Bagong yang bekerja di media cetak, media televisi, radio, dan sablon kaus juga spanduk sekarang mulai mengeluh. Bagong hampir tiap hari dicurhati mereka bahwa dalam pemilu sekarang media massa dan sablon kaus akan bangkrut.
Kekhawatiran mereka, berdasarkan dukungan moral terhadap Paijo dan Paijem, tidak akan ada lagi reklame dari partai politik dan tokoh-tokoh politik di media massa, kaus-kaus, dan umbul-umbul. Semua sudah merasa telat dan kalah start dengan Paijo-Paijem yang kini menjadi buah bibir masyarakat meski tanpa melalui pariwara. Apalagi Paijo dan Paijem sudah ditiru oleh ribuan kontestan lain yang bermodal dengkul baik di pemilu besar maupun pemilukada.
”Alah, Gong, Gong…,” kata salah seorang ahli keluh kepada Bagong. ”Daripada pasang advertensi dan bikin kaus, mending duitnya buat kawin lagi saja.”
Juru keluh yang lain menggerutu, ”Kampanye di baliho-baliho? Nempel potret di pohon-pohon? Apikan duitnya buat pasang taruhan Piala Dunia tahun ini (2014). Kita mesti kalah sama Paijo-Paijem. Mereka sudah kampanye diem-diem, kerja nyata sejak lima tahun yang lalu.”
***
Ternyata iklan media massa dan sablon kaus masih payu buat kampanye partai politik dan para tokohnya. Para karyawan media massa dan tukang kaus kembali punya greget kerja. Keluarganya kembali semringah. Sebabnya? Partai dan tokoh-tokohnya tiba-tiba ngeh, Piala Dunia berbeda dengan pemilu. Menurut ponokawan Limbuk dan Cangik, di Piala Dunia wasit tak etis ujuk-ujuk berhenti di tengah jalan untuk ganti peran jadi pemain. Pemain jadi pelatih banyak, seperti Diego Maradona dan Franz Beckenbauer. Maka bisa muncul unggulan-unggulan baru yang tak disangka. Sebut misalnya Slovakia dan Meksiko.
Penjelasan Limbuk dan Cangik itu tentu sukar kita nalar. Hubungannya apa antara tak adanya pergantian wasit ke pemain dan munculnya unggulan baru seperti Korea Selatan dan Jepang. Tapi coba kita ikuti saja penalaran ponokawan perempuan ini.
Menurut mereka, di dalam pemilu, wasit bisa dadakan mandek di tengah jalan dan lalu jadi pemain. Tokoh KPU bisa berhenti di tengah jalan, lalu jadi pemimpin partai politik. Contohnya Ibu Andi Nurpati. Maka, tidak mungkinlah orang-orang macam Paijo dan Paijem menang pemilu. Pemenangnya pastilah semua yang sudah kita ramalkan via kampanye gede-gedean dan polesan tata rias oleh konsultan politik.
Tiba-tiba salah seorang teman Bagong yang bekerja di sablon kaus ketangkap nyolong ayam. ”Kamu ndak tahu to berita baru?” tanya Bagong. ”Pekerjaanmu di sablon gak jadi terancam bubar. Orang-orang akan tetap kampanye seperti biasa. Lha kok kamu nyolong ayam?”
”Ngene lho Mas Bagong, saya itu ngefans banget sama artis-artis. Tapi minta tanda tangan susah banget. Makanya saya pengin masuk penjara, biar gampang minta tanda tangan sekalian nginep bareng,” kata teman Bagong itu sekenanya. (*)
www.sujiwotejo.com

1 komentar:

Terima kasih atas komentar anda