Rabu, 01 Juni 2011

Wakil Rakyat Klampis Ireng

Bagong bersedih. Tiba-tiba ia kepilih jadi wakil rakyat. Pelantikannya ya baru kemarin, sehari sebelum Unesco mengakui batik sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.

Makanya, berbeda dibanding wakil-wakil rakyat lain yang pakai jas walaupun di negara tropis, walaupun panasnya kayak gini, Bagong lebih memilih pakai batik.
”Dulu Nelson Mandela yang mimpin Afrika Selatan saja gemar batik, masa’ kita malah ikut-ikutan bule mengenakan jas? Jas itu kan mestinya untuk di tempat-tempat yang hawanya dingin.”
Itu biasanya nasihat yang kerap didengarkan Bagong, bungsu Semar. Makanya, sejak tiga hari sebelum pelantikan ia rajin keluar masuk Pasar Klewer di Surakarta, mencari berbagai motif batik yang kira-kira cocok untuk dibaiat menjadi wakil rakyat.
”Kok nggak pakai jas saja. Memang iklim kita ini tropis. Tapi kan bisa pakai AC,” kata teman-teman Bagong.

Balada Sinta Obong

Dahana kobar mangalad-alad…Gumaluduk guntur ketuk…Lindu bumi gonjing…
Bagong: Yang artinya?
Yang artinya sukar dicetuskan ke dalam bahasa versi Soempah Pemoeda…
Gareng: Yang tafsirnya?
Yang tafsirnya gini. Dahana itu api. Ada dahana kobar menjilat-jilat sampai ke dirgantara. Wah lipat ganda geliat api itu lebih tinggi dari puncak Monas. Lebih munjung dahana itu, menjulang lebih dari pucuk Semeru di Lumajang.

Dewi Drupadi Naik Ambulans

Bukan kuntilanak bukan gendruwo. Rambut ikal selutut. Perempuan itu cuma’ berdiri tengah malam nduk pinggir jalan. Tempatnya ndak jauh dari kamar mayat di Karangmenjangan. Tadinya konco-konco mbecak dan ojek cangkruk sekitar situ. Sekarang mereka satu-satu mulai mlipir menjauh. ”Soale lama-lama ta’ lihat kok kaki perempuan itu ndak nyentuh aspal,” bisik seorang tukang ojek sing ngaku bernama Zawawi Imron.

Bisik-bisik ojek lain menyambungnya, ”Minyak wanginya rodok-rodok bau melati gitu ya…” Tukang becak yang dengar itu meralat. Pak jenggot ini sambil kepontal-pontal membawa radio kecilnya, siaran wayang Ki Panut Dharmoko dari Nganjuk, lakonnya Alap-alapan Dewi Drupadi. ”Hush…Ngawur awakmu,” ralatnya, ”Bukan bau melati ini. Ini menyan…”
Wah, tambah cepat-cepatlah kaum pekerja malam itu meninggalkan sang perempuan. Angin dari arah kamar mayat sempat menggeraikan rambut dan syalnya ke arah Unair.
Ciiiiiiiiittttttttt…..!!!!!!
Kaum ojek dan pabecakan di sekitar Stasiun Gubeng itu sudah merinding kini mendadak kaget pula oleh derit suara taksi ujuk-ujuk ngerem. Jejak bannya sampai mbliyat-mbliyut di aspal. Taksi hampir masuk got. Setelah mandek, taksi seketika mundur cepat. Perempuan berambut selutut dengan dua koper itu naik. Taksi bablas.
Kini di atas becek sisa gerimis, tukang-tukang ojek dan becak masih mencium sisa bau kemenyan, melati, dan kembang kantil, di ruas jalan lengang, di suatu tengah malam, nduk Suroboyo.
***

Senin, 30 Mei 2011

Edan, Yudhistira pun Bisa Bohong


REMBUKAN ponokawan rampung sudah dan jelas. Kebijakan Prabu Yudhistira mereka nyatakan bermasalah. Mestinya dalam Bharatayuda pemimpin Pandawa itu blak-blakan. Bilang saja yang mati bukan Aswatama anak kinasih Pandita Durna. Yang menggelepar-gelepar terus matek hanyalah Gajah Hestitama. Dia bongko dikepruk gada Rujakpolo-nya Bima.

Tapi Prabu Yudhistira bilang yang tewas Aswatama. Kontan panglima Kurawa itu lemes lantaran menyangka anak kesayangannya gugur. Gumrojok tanpo larapan …dalam kelunglaian itu Thrustajumna mengendap-endap dari belakang. Ia penggal seketika kepala sang mahaguru… Thel…ubluk-ubluk-ubluk…
”Thel itu apa Pak Dalang?” penonton bertanya.
Leher Durna putus.
”Ubluk-ubluk…?”

Rahwana I Love U

RAHWANA mbawa Dewi Sinta ke Alengka. Istri Prabu Rama dari Kerajaan Ayodya itu digondolnya setelah Garuda Jatayu yang mencegat Rahwawa di dirgantara keok oleh si raja Alengka itu. Sekarang wis 12 tahun lebih Sinta nduk Argasoka, tempat bintang lima di Alengka. Padahal Rahwana sudah punya istri, Dewi Tari.

Konon penyebabnya sepele. Dewi Tari uring-uringan terus soalnya Rahwana sering mbanding-bandingno masakannya ambek masakan ibunya, Dewi Sukesi. Pikir Tari, ”Enakan jadi Siti Hawa ya, Adam ndak mungkin pernah nyebut-nyebut masakan ibunya.”
Waktu pergi ke tabib, Dewi Tari diberi obat penenang. Dia heran, Rahwana tidak pernah mau minum obat. ”Bukan untuk Bapak, aduh, tapi untuk Mbak Tari. Agar Mbak Tari tidur saja ndak usah ngomel-ngomel sehingga suami betah di rumah,” kata tabib.
Gareng bertanya-tanya, ternyata di Alengka tidak saja diumbar nikah siri dan poligami. Bahkan berpoligami dengan istri orang lain juga sip sip saja.Bagong selalu berbeda dibanding Gareng, kakaknya. Bungsu Semar ini selalu polos-polos saja. Tidak pernah sok kritis dan sok intelektual bagai kakak sulungnya. Bagong selalu berpegang pada prinsip sederhana bapaknya, ndak usah repot-repot mikir segala hal termasuk poligami boleh apa nggak.