Senin, 23 Mei 2011
Sang Prabu Dipadano Kebo
PRABU Duryudana dipada’no, disama-samakan, dengan kebo alias kerbau. Yang bikin persamaan para demonstran. Jan-jane tukang bikin persamaan ya guru-guru matematika. Mereka tidak suka pertidaksamaan. Tapi, walau tak ikut bengak-bengok di jalan, kaum pengajar matematika itu tampil sebagai pembela. ”Lho, dalam semangat persatuan, sebaiknya cari perbedaan atau persamaan? Persamaan kan?” kata salah seorang wakil mereka.
”Contohnya nduk Suroboyo saja,” lanjutnya, ”Buat apa kita cari-cari perbedaan orang-orang Benowo dan orang-orang Kandangan, Bongkaran, Pabean, Menanggal, dan lain-lain. Justru kita harus nggoleki persamaannya.”
”Itu tok ndak cukup. Kita juga harus nyari persamaan manusia ambek unsur-unsur alam. Ya, tumbuh-tumbuhan. Ya, hewan. Ingat, konsep persatuan kita bukan cuma kesatuan antar-manusia. Kita juga peduli pada kemanunggalan menungso ambek alam. Masyarakat kaprahnya cuma sanggup melihat perbedaan antara kerbau dan sang Prabu. Sekarang, lihat, para pendemo malah telaten dan mampu menemukan persamaannya. Enak to? Manteb to?”
Di singgasananya, Prabu Duryudana semula akan manggut-manggut. Ndak sido, karena si kembar dan si gagap Citrakso-Citraksi bisik-bisik di kiri-kanan telinga sang Prabu. Mereka mengingatkan, awas lho, kebo itu gemuk dan dungu. Juga penurut. Cek saja nanti pas Paman Sam berkunjung kangen-kangenan Maret nanti. Bawakan kerbau di bekas sekolahnya di Menteng. Paman Sam bilang ”ngidul”, pasti kerbau itu ke selatan. Obama, eh Paman Sam bilang ”ngalor”, pasti kerbau berubah kiblat jadi ke utara.
We ladalah! Tokoh nomor satu Astina itu bingung. Harus koyok opo reaksinya sebagai raja menanggapi soal kebo. Waduh dewaaaaa….dewaaaaa…Diam saja nanti dikira mayat. Misuh-misuh nanti dikira Ruhut Sitompul. Padahal, meski pakai anting seperti umumnya para raja, Duryudana tidak punya kuncir seperti Ruhut.
Sepilah suasana sidang di balairung. Nyenyet. Sampai-sampai di luar balairung pun keadaan turut menghening… tan ono sabawaning walang awisik, ron-ronan datan mobah, samirono datan lumampah…Bahkan tak ada satu pun gemerisik belalang, daun-daun tak bergerak, angin pun mandek.
Patih Sengkuni memecah kebekuan yang sudah berlangsung sejak senja hingga nyaris beduk tengah malam. Ia batuk-batuk dan berdehem. Hadirin yang semula tunduk pada menoleh. ”Menanggapai demonstrasi kebo, bagaimana kalau reaksi Sampeyan, Prabu Duryudana, ketawa-ketawa saja,” bujuknya seraya cengegesan seperti adatnya.
Duryudana alias Jaka Pitana, ya sang Destarastratmaja mak jlek memandang Patih Sengkuni. Lalu Jaka Pitana nyureng-nyureng. Bagaimana kedua alisnya tak bersatu? Ngguya-ngguyu haha-hehe kan lambang suka-cita? Nanti mereka dikira hepi-hepi karena diem-diem naik gaji dan remunerasi bersama pejabat negara lainnya. Padahal, rakyat sudah teriak-teriak mbok para penyelenggara negara jangan joget-joget di atas penderitaan mereka.
Atau sebaiknya Prabu Duryudana marah-marah? Tapi ini akan melanggar perpu tentang marah-marah. Dalam peraturan pengganti undang-udang itu disebutkan, pemimpin boleh misuh-misuh tapi tak boleh marah-marah. Pemimpin hanya boleh marah kalau harga-harga kebutuhan pokok sudah turun. Padahal, sekarang, harga-harga justru naik-naik ke puncak gunung. Ya, gula. Ya, beras. Ya, gas. Kecuali kalau perpunya diganti lebih dulu supaya mereka berubah bisa marah-marah. Seperti dulu mereka mengganti perpu lebih dulu agar bisa membantu Bank Senturi.
Gedubrak! Prabu Duryudana nggeblak, jatuh semaput. Sidang dikukut.
***
Kapten Chelsea John Terry tidak sendirian dalam berselingkuh. Arjuna juga punya pacar gelap. Namanya Dewi Banuwati, permaisuri Duryudana alias Prabu Anggendariputro. Bukan saja cantik, putri asal Kerajaan Mandaraka ini juga berkuasa atas laki-laki. Bayangkan, dia hanya bersedia dipinang oleh Raja Astina, Duryudana alias Suyudana, dengan syarat perias pengantin putrinya harus Arjuna. Dirias di kamar tertutup 40 hari 40 malam. Edan, Suyudana setuju!
Kini Suyudana yang pingsan dari ruang sidang sedang diusung ke peraduan. Banuwati yang sedang SMS-an dengan Arjuna sudah tahu. Pasti penyebabnya adalah kebo. Maka begitu Suyudana sudah siuman, sang Dewi yang sudah siap dengan seabrek dongeng tentang kebo, mulai bercerita kepada suaminya. Sebagian info itu diperoleh Banuwati dari panakawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Dongeng-dongeng tersebut perlu dituturkan sang Dewi agar suaminya tidak minta macem-macem di malam yang dingin dan kadang mati listrik itu (Mohon dipersori untuk Mas Dahlan Iskan, dirut PLN, ST).
Bener. Pas Suyudana siuman, laki-laki ini langsung ngambung kening istri dan meraba dadanya. Sing digerayangi paham. Sang Dewi cepat nylimur, ”Eh, Cak, tahu ndak, ternyata kebo itu baik lho. Kalau mbajak sawah paling lurus hasilnya. Hasil garis bajakan sapi masih mbliyut-mbliyut. Ini karena kerbau mirip manusia autis, yang punya keterbatasan melakukan berbagai jenis aktivitas, dan kerap dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang di Tanah Air. Padahal orang autis kalau dipupuk bisa melakukan gerak yang sama ratusan kali dengan ritme dan ketelitian yang ajek dan luar biasa. David Beckham salah satu contohnya.”
Prabu Destarastratmaja terpana. Tapi dongeng permaisurinya terhenti karena sibuk SMS-an ambek Arjuna. Sang Prabu kembali menggerayangi istrinya di bagian yang lebih ke bawah. Cepat-cepat Dewi Banuwati nylimur lagi.
”Eh, Cak, Sampeyan ngerti? Ternyata kerbau yang tenaganya lebih besar ketimbang sapi juga jauh lebih disiplin. Kelihatannya saja kerbau tidak tebar pesona dan tidak jaim alias jaga image karena badannya sering berlumpur dari hobinya berkubang. Tetapi, bahwa sesungguhnya, kerbau sangat rapi hidupnya. Yaitu, pulang kandang selalu melewati jalur yang rutin mereka lalui saban hari. Buang kotorannya juga tidak di sembarang tempat. Kerbau praktis lebih sering buang kotoran di tempat biasanya dia buang hajat.”Sekali lagi dongeng Dewi Banuwati terhenti karena SMS-an dengan Arjuna. Prabu Duryudana semula terkesima pada kebaikan kebo. Akhirnya tangannya kembali menjadi aktivis. Satu per satu kancing gaun malam istrinya dibukanya. Dewi Banuwati kembali nylimur. ”Eh, Cak, kebo itu bagus kok. Tahu kan? Makhluk yang dikeramatkan di Keraton Kasunanan Surakarta sejak abad ke-17 adalah kerbau. Bukan kuda. Bukan sapi. Kerbaulah yang paling terbukti bisa menjaga kehormatan pusaka Kyai Slamet sampai-sampai kerbau itu sendiri secara turun-temurun dinamai Kyai Slamet dan diarak setiap peringatan tahun baru 1 Suro.
Kerbau pula yang mampu mengantar Nusantara memperoleh penghargaan dari UNESCO belum lama ini. Wayang mereka hormatidan dudukkan sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan. Apakah para demonstran itu berpikir bahwa Nusantara tetap bisa memiliki wayang tanpa adanya kulit kerbau? Kulit sapi dan hewan-hewan lain tidak bagus sebagai bahan wayang kulit. Jati diri kebudayaan Nusantara yang suku-sukunya saling bekerja sama juga mengolah tanduk kerbau, terutama kerbau Toraja, sebagai gapit dan cempurit (tulangan dan pegangan) wayang.”
***
Dari pengalaman-pengalaman itu kemudian tak satu jeda pun Dewi Banuwati kasih kepada tangan suaminya untuk beraktivitas. Dongengannya tentang kerbau terus nyerocos. Hingga hari menjelang terang tanah dan kokok ayam ketiga.
Putri Prabu Salya dari Mandaraka itu bercerita tentang betapa orang-orang hebat dahulu kala juga menggunakan kebo atau mahesa sebagai namanya. Misalnya Mahesa Wong Ateleng. Ada juga Kebo Marcuet di alas Purwo. Saking saktinya sampai Raja Blambangan itu meresahkan Majapahit.
Apakah nama pemimpin Ekspedisi Pamalayu itu lebah? Tidak. Tapi kerbau. Yaitu Kebo Anabrang. Kalau tidak digdaya, mustahil panglima Kerajaan Singasari itu berhasil menaklukkan seluruh wilayah Melayu termasuk kerajaan Melayu Jambi dan Sriwijaya. Di Singasari itu banyak tokoh bagus-bagus namanya pakai kebo. Jangan cuma terpaku Kebo Ijo yang pandir dan dimanfaatkan oleh Ken Arok. Lihat juga kebo-kebo yang lain. Kebo Giro, nama gending gamelan yang sering ditalu pas mantenan, itu juga enak.
”Sudah bagus Paduka disamakan dengan kebo,” bisik Banuwati, “Daripada Paduka disamakan dengan lebah. Tawon itu lempar batu sembunyi tangan. Persis kelakuan siapa pun yang terlibat kasus Bank Senturi. Yang nyengat, yang ngentup, itu dia-dia sendiri. Eh, dia diem saja ketika yang disidang dan disidik-sidik aparat hukum di Jawa Timur seorang murid sekolah di bawah umur…Cak…Caaaaaak…”
Zzzzzzzzz….
Duryudana ketiduran di ranjang. Matahari sudah naik sepenggalah. Di ranjang yang sama, Dewi Banuwati segera mungkur dan melanjutkan SMS-an dengan Ksatria Piningit: Arjuna. (*)
*) Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda