Ada janur kuning melengkung di Bumirawatu, Ksatrian Raden Sadewa. Raden Sadewa, bungsu Pandawa, akhirnya menikahi Dewi Rasawulan. Mulanya dia emoh. Sadewa memang penggemar berat lagu Koes Plus, Bujangan. Sepanjang hidup ia ingin jadi perjaka. Tapi, akhirnya mantenan juga. Melengkunglah janur kuning di Bumiratawu alias Wukiratawu.
”Mudeng, Mak. Dalam uba rampe pernikahan, hiasan tebu itu maksudnya….”
”Aku nanya janur kuning kok jawabanmu tebu…Duaasar Jaka Sembung bawa golok…”
”Lha tadi malam Sampeyan juga nggak nyambung, kok. Aku tanya, Mak berapa jumlah orang yang nangis di Nuswantoro setelah Mbak Sri Mulyani pergi jauh? Mak jawab, Presiden Indonesia itu namanya Pak SBY, Nduk, Limbuk.”
”O, kalau itu…Karena Emakmu ini nggak tahu berapa jumlah orang nangis sak Indonesia sekarang karena kasus Century akan dipeti-eskan. Kalau cuma jumlah penangis yang tidak lulus ujian nasional, mungkin Emakmu masih bisa itung. Makanya Emakmu ini kasih jawaban yang lain, yang Emak tahu saja…”
”Sama, Mak. Aku ndak tahu apa makna janur kuning dalam hajatan nikah. Ngertiku cuma makna tebu, makanya ta’ jawab yang tahu-tahu saja, yaitu soal tebu.”
”Apa coba, makna tebu itu…”
”Hmmm…tebu itu antebing kalbu. Kalbu yang mantap. Lanang-wadon mempelai mesti mempunyai tekad yang kuat dan padu sebelum melaksanakan ijab kabul.”
”Wah ck ck ck…Pinteeeeer…Gemuk-gemuk tanpa potongan kayak kamu, ternyata masih pinter. Ndak percuma Emakmu ini mendoakan kamu siang malam, puasa sampai badanku kurus kerempeng seperti ini…”
”Oalah, Maaak, Mak, tirakat buat anak semata wayang kok malah diunjuk-unjukkan. Sampek pamer badan kerempeng seperti lidi. Prihatin buat anak mbok yang ikhlas, ridlo, tulus…Lihat Dewi Kunti. Sayang banget pada anak tirinya, Raden Sadewa. Tapi Dewi Kunti ndak pernah-pernahnya pamer prihatin itu. Jarene kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan…”
”Itu kan dulu, Nduk, zamannya Empu Sen-dok. Sekarang sudah zaman Empu Sen-tury. Ya, masih mending ibu berdoa buat anak meskipun nggak tulus, ketimbang ibu membunuh anak kandungnya sendiri, mbanting bayi, membuang ke got, peceren…Aku ndak mateni kamu lho. Masio kamu itu gemuk bunder ser kayak jemblem…”
”Jemblem?”
”Onde-onde zaman Ki Hadjar Dewantara, Nduk. Ya persis kamu, nggak ada potongan. Padahal gajah gemuk ditambah beri-beri ditambah bengkak dipukuli Satpol PP saja masih ada potongan-potongannya lho…Eh, tapi nggak papa ding, kan jelek-jelek begini kamu pinter…Tahu artinya tebu dalam pelaminan…”
”Ya tapi sekarang tebu sudah jarang banget, Mak. Tegal-tegal tebu hampir punah. Pabrik-pabrik gula pada tutup. Padahal dulu kita pernah jaya…Kabupaten Situbondo saja punya lima pabrik gula. Belum Semboro di Kabupaten Jember. Prajekan di Kabupaten Bondowoso. Wah, setiap buka giling ada pesta rakyat, plembungan, wayang kulit…waduh…Gula kita produksi sendiri. Ndak kenemenen tergantung impor. Sekarang? Hiks…hiks…hiks…”
”Hush cup cup cup. Sudah. Jangan nangis. Sudah. Limbuk. Anakku. Ndak usah nangis. Kalau tebu kamu sudah tahu maknanya, sekarang kelapa cengkir itu apa maknanya?”
”Cengkir…hiks…hiks..hiks..artinya…hiks…kencenging pamikir hiks…hiks…Pikiran mempelai harus berubah…hiks…dari hiks…hiks…Hijrah dari pikiran kanak-kanak ke pikiran orang dewasa…”
***
Makna yang terkandung dalam kelapa cengkir dan tebu saja ternyata tak cukup. Dewi Rasawulan, Putri Raja Selamerah Prabu Rasadewa, ternyata punya ide dadakan. Ia baru bersedia dipersunting pria yang sanggup menjelaskan arti kata cinta.
Oooo…kagyat risang kapirangu rinangkul kinempit-empit…duh sang retnaning bawono….derodog dog dog…
Maka batallah sayembara perang memperebutkan sang dewi yang sudah telanjur berlangsung di Alun-alun Selamerah. Adipati Karna yang memimpin bala Kurawa berkemas pulang. Raden Dursasana dari Ksatrian Banjarjunut tak tahu harus berbuat apa. Orang Kurawa ini cuma atebah jojo atampel wentis, memukul-mukul dada dan betisnya sendiri ketika dapat kabar pahit. Rombongan wakilnya untuk melamar Rasawulan pulang tanpa hasil.
Begitu juga Arjuna dari keluarga Pandawa. Utusan pelamarnya boleh sakti-sakti mandraguna sura tan taha. Sebut saja Raden Antareja, ponakannya, dan Bambang Irawan, anaknya. Tapi mereka juga pulang bertangan hampa.
”Hehehe…Tenang, Yayi Arjuna,” nasihat Sri Kresna pada adik iparnya itu. ”Dan si Adi tidak usah tersinggung bahwa kamu ditampik secara halus oleh Dewi Rasawulan…Firasatku, satu orang saja di dunia yang bisa menjelaskan arti cinta: adikmu, Sadewa…”
Mendengar namanya disebut, Sadewa yang menyukai lagu Koes Plus, Bujangan, langsung oncat, pergi tanpa pamit menonton Piala Dunia di televisi. Pikirnya, buat apa menikah bila nyatanya jauh lebih merdeka menjadi bujangan.
Arjuna cepat merajuk pada Sri Kresna, ”Sadewa tidak mau kawin….O, bagaimana kalau atas nama saya, Kaka Prabu Kresna menjelaskan arti cinta kepada Dewi Rasawulan…”
Bima nggereng tidak terima, ambil mengacungkan kuku Pancanaka. ”Haaaaaaa….Arjuna gak idep isin. Istri sudah banyak. Anak tidak terhitung. Masih juga gatel pengin kawin….”
Kresna tak sudi membuang waktu. ”Gatutkaca,” serunya dalam nada perintah kepada anak Bima itu, ”Segera kamu susul pamanmu Sadewa. Bawa ke depan Dewi Rasawulan. Minta tolong pamanmu Sadewa untuk menjelaskan arti cinta di depan sang dewi…”
”Waduh, waduh, terima kasih, Wa Prabu Kresna…Sungguh hamba tidak menyangka bahwa akhirnya Paduka menjodohkan hamba dengan Dewi Rasa…”
”Rasa endasmu itu, Gatutkaca..!!! Hihihi…Bukan buat kamu..!!! Seolah-olah saja pamanmu Sadewa itu menjelaskan cinta atas nama kamu. Tapi, sesungguhnya, nantinya, lihat saja yang terjadi…Berangkat!”
***
O, Gancanging carito kadyo wong kang munggel kawi… Ringkas cerita, Raden Gatutkaca sudah berhasil mengusung pamannya ke hadapan Dewi Rasawulan. Benarlah firasat Sri Kresna, Sadewa alias Tangsen, pemuda yang tepat untuk menjelaskan cinta.
Orang yang hidupnya penuh dengan cinta, saban hari dilingkupi cinta, pasti sanggup menjelaskan cinta. Kembar Nakula-Sadewa adalah anak-anak yang dicintai Dewi Kunti siyang pantareng ratri, siang-malam. Kunti mencintai anak angkatnya kembar Pingten-Tangsen itu jauh melebihi cintanya pada anak kandungnya sendiri, Puntadewa, Bima, dan Arjuna.
Juga atas nama cintalah kembar Nakula dari Ksatrian Sawojajar dan Sadewa dari Ksatrian Wukiratawu juga dilahirkan. Ayah mereka, Prabu Pandu Dewanata, suami Dewi Kunti dan Dewi Madrim, sudah tahu kutukan dewa. Ia bakal mati ketika bercinta dengan Madrim. Toh Pandu tetap saja menyelenggarakan cinta di malam purnama itu.
Akhirnya, Pandu tewas sesaat setelah persenggamaan. Sesaat setelah lahir jabang bayi kembar Nakula-Sadewa, setelah Kunti menyatakan kesanggupannya untuk merawat dan membesarkan mereka, Dewi Madrim, adik Prabu Salya, atas nama cinta menyusul arwah suaminya. Ia lakukan upacara pembakaran diri.
Tapi, kenapa Sri Kresna kok hanya meminta Sadewa? Kenapa sang Harimurti itu tidak juga mencoba meminta Nakula untuk menjelaskan cinta?
”Sudah jangan kebanyakan nanya,” potong Madusudana alias Kresna. ”Halaman Wayang Durangpo Minggu ini sudah hampir habis. Nanti lakonnya ndak rampung-rampung.”
Agar cerita cepat rampung, ringkasnya, Dewi Rasawulan sudah bersimpuh dan merangkul betis Raden Sadewa tanpa disadari oleh Sadewa karena bungsu Pandawa ini sedang khusu’ menjelaskan arti cinta.
”….Dan cinta tak kenal pengorbanan,” lanjut Sadewa. ”Cinta perlu pengorbanan? Hmm…Itu salah kaprah. Kamu mencintai seseorang? Kamu tak akan pernah merasa berkorban untuk seseorang itu. Sesamudera apa pun kesusahan dan jerih payah yang telah kamu lakukan…”
Baru setelah ucapan itu Sadewa tersadar Dewi Rasawulan telah merangkul dan menciumi betisnya. Sadewa oncat meninggalkan taman Selamerah. Bersamaan itu datanglah Prabu Dirgamayapati dari Kerajaan Simbarmanyuro yang ingin merebut paksa Dewi Rasawulan. Gatutkaca tanggap. Pamannya langsung diamankan, yaitu secara magis dikecilkan dan dimasukkan ke dalam kancing gelung di kepala Gatutkaca.
Prabu Dirgamayapati masih terus memburu Dewi Rasawulan, hingga sang dewi kepontal-pontal dan nyaris seluruh busananya tanggal. Gatutkaca akhirnya sanggup melindungi Rasawulan. Tanpa pikir panjang, sang putri yang sudah nyaris telanjang itu dikecilkan dan dimasukkannya ke dalam kancing gelung yang sama.
Hah? Setengah telanjang? Apa yang lalu terjadi pada kancing gelung Gatutkaca yang di dalamnya ada perjaka tenguk-tenguk itu? Yo, embuh, Rek. Yang jelas, setelah malam menanjak di kancing gelung Gatutkaca itu ada gamelan Kebogiro dan Monggang bertalu-talu, ada tebu dan kelapa cengkir, serta melengkunglah janur kuning di Bumirawatu. ***
www.sujiwotejo.com
/hm”Kamu ngerti makna janur kuning, Nduk?” tanya Cangik, ponokawan perempuan kepada anaknya, Limbuk.
”Mudeng, Mak. Dalam uba rampe pernikahan, hiasan tebu itu maksudnya….”
”Aku nanya janur kuning kok jawabanmu tebu…Duaasar Jaka Sembung bawa golok…”
”Lha tadi malam Sampeyan juga nggak nyambung, kok. Aku tanya, Mak berapa jumlah orang yang nangis di Nuswantoro setelah Mbak Sri Mulyani pergi jauh? Mak jawab, Presiden Indonesia itu namanya Pak SBY, Nduk, Limbuk.”
/bata
”O, kalau itu…Karena Emakmu ini nggak tahu berapa jumlah orang nangis sak Indonesia sekarang karena kasus Century akan dipeti-eskan. Kalau cuma jumlah penangis yang tidak lulus ujian nasional, mungkin Emakmu masih bisa itung. Makanya Emakmu ini kasih jawaban yang lain, yang Emak tahu saja…”
”Sama, Mak. Aku ndak tahu apa makna janur kuning dalam hajatan nikah. Ngertiku cuma makna tebu, makanya ta’ jawab yang tahu-tahu saja, yaitu soal tebu.”
”Apa coba, makna tebu itu…”
”Hmmm…tebu itu antebing kalbu. Kalbu yang mantap. Lanang-wadon mempelai mesti mempunyai tekad yang kuat dan padu sebelum melaksanakan ijab kabul.”
”Wah ck ck ck…Pinteeeeer…Gemuk-gemuk tanpa potongan kayak kamu, ternyata masih pinter. Ndak percuma Emakmu ini mendoakan kamu siang malam, puasa sampai badanku kurus kerempeng seperti ini…”
”Oalah, Maaak, Mak, tirakat buat anak semata wayang kok malah diunjuk-unjukkan. Sampek pamer badan kerempeng seperti lidi. Prihatin buat anak mbok yang ikhlas, ridlo, tulus…Lihat Dewi Kunti. Sayang banget pada anak tirinya, Raden Sadewa. Tapi Dewi Kunti ndak pernah-pernahnya pamer prihatin itu. Jarene kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan…”
”Itu kan dulu, Nduk, zamannya Empu Sen-dok. Sekarang sudah zaman Empu Sen-tury. Ya, masih mending ibu berdoa buat anak meskipun nggak tulus, ketimbang ibu membunuh anak kandungnya sendiri, mbanting bayi, membuang ke got, peceren…Aku ndak mateni kamu lho. Masio kamu itu gemuk bunder ser kayak jemblem…”
”Jemblem?”
”Onde-onde zaman Ki Hadjar Dewantara, Nduk. Ya persis kamu, nggak ada potongan. Padahal gajah gemuk ditambah beri-beri ditambah bengkak dipukuli Satpol PP saja masih ada potongan-potongannya lho…Eh, tapi nggak papa ding, kan jelek-jelek begini kamu pinter…Tahu artinya tebu dalam pelaminan…”
”Ya tapi sekarang tebu sudah jarang banget, Mak. Tegal-tegal tebu hampir punah. Pabrik-pabrik gula pada tutup. Padahal dulu kita pernah jaya…Kabupaten Situbondo saja punya lima pabrik gula. Belum Semboro di Kabupaten Jember. Prajekan di Kabupaten Bondowoso. Wah, setiap buka giling ada pesta rakyat, plembungan, wayang kulit…waduh…Gula kita produksi sendiri. Ndak kenemenen tergantung impor. Sekarang? Hiks…hiks…hiks…”
”Hush cup cup cup. Sudah. Jangan nangis. Sudah. Limbuk. Anakku. Ndak usah nangis. Kalau tebu kamu sudah tahu maknanya, sekarang kelapa cengkir itu apa maknanya?”
”Cengkir…hiks…hiks..hiks..artinya…hiks…kencenging pamikir hiks…hiks…Pikiran mempelai harus berubah…hiks…dari hiks…hiks…Hijrah dari pikiran kanak-kanak ke pikiran orang dewasa…”
***
Makna yang terkandung dalam kelapa cengkir dan tebu saja ternyata tak cukup. Dewi Rasawulan, Putri Raja Selamerah Prabu Rasadewa, ternyata punya ide dadakan. Ia baru bersedia dipersunting pria yang sanggup menjelaskan arti kata cinta.
Oooo…kagyat risang kapirangu rinangkul kinempit-empit…duh sang retnaning bawono….derodog dog dog…
Maka batallah sayembara perang memperebutkan sang dewi yang sudah telanjur berlangsung di Alun-alun Selamerah. Adipati Karna yang memimpin bala Kurawa berkemas pulang. Raden Dursasana dari Ksatrian Banjarjunut tak tahu harus berbuat apa. Orang Kurawa ini cuma atebah jojo atampel wentis, memukul-mukul dada dan betisnya sendiri ketika dapat kabar pahit. Rombongan wakilnya untuk melamar Rasawulan pulang tanpa hasil.
Begitu juga Arjuna dari keluarga Pandawa. Utusan pelamarnya boleh sakti-sakti mandraguna sura tan taha. Sebut saja Raden Antareja, ponakannya, dan Bambang Irawan, anaknya. Tapi mereka juga pulang bertangan hampa.
”Hehehe…Tenang, Yayi Arjuna,” nasihat Sri Kresna pada adik iparnya itu. ”Dan si Adi tidak usah tersinggung bahwa kamu ditampik secara halus oleh Dewi Rasawulan…Firasatku, satu orang saja di dunia yang bisa menjelaskan arti cinta: adikmu, Sadewa…”
Mendengar namanya disebut, Sadewa yang menyukai lagu Koes Plus, Bujangan, langsung oncat, pergi tanpa pamit menonton Piala Dunia di televisi. Pikirnya, buat apa menikah bila nyatanya jauh lebih merdeka menjadi bujangan.
Arjuna cepat merajuk pada Sri Kresna, ”Sadewa tidak mau kawin….O, bagaimana kalau atas nama saya, Kaka Prabu Kresna menjelaskan arti cinta kepada Dewi Rasawulan…”
Bima nggereng tidak terima, ambil mengacungkan kuku Pancanaka. ”Haaaaaaa….Arjuna gak idep isin. Istri sudah banyak. Anak tidak terhitung. Masih juga gatel pengin kawin….”
Kresna tak sudi membuang waktu. ”Gatutkaca,” serunya dalam nada perintah kepada anak Bima itu, ”Segera kamu susul pamanmu Sadewa. Bawa ke depan Dewi Rasawulan. Minta tolong pamanmu Sadewa untuk menjelaskan arti cinta di depan sang dewi…”
”Waduh, waduh, terima kasih, Wa Prabu Kresna…Sungguh hamba tidak menyangka bahwa akhirnya Paduka menjodohkan hamba dengan Dewi Rasa…”
”Rasa endasmu itu, Gatutkaca..!!! Hihihi…Bukan buat kamu..!!! Seolah-olah saja pamanmu Sadewa itu menjelaskan cinta atas nama kamu. Tapi, sesungguhnya, nantinya, lihat saja yang terjadi…Berangkat!”
***
O, Gancanging carito kadyo wong kang munggel kawi… Ringkas cerita, Raden Gatutkaca sudah berhasil mengusung pamannya ke hadapan Dewi Rasawulan. Benarlah firasat Sri Kresna, Sadewa alias Tangsen, pemuda yang tepat untuk menjelaskan cinta.
Orang yang hidupnya penuh dengan cinta, saban hari dilingkupi cinta, pasti sanggup menjelaskan cinta. Kembar Nakula-Sadewa adalah anak-anak yang dicintai Dewi Kunti siyang pantareng ratri, siang-malam. Kunti mencintai anak angkatnya kembar Pingten-Tangsen itu jauh melebihi cintanya pada anak kandungnya sendiri, Puntadewa, Bima, dan Arjuna.
Juga atas nama cintalah kembar Nakula dari Ksatrian Sawojajar dan Sadewa dari Ksatrian Wukiratawu juga dilahirkan. Ayah mereka, Prabu Pandu Dewanata, suami Dewi Kunti dan Dewi Madrim, sudah tahu kutukan dewa. Ia bakal mati ketika bercinta dengan Madrim. Toh Pandu tetap saja menyelenggarakan cinta di malam purnama itu.
Akhirnya, Pandu tewas sesaat setelah persenggamaan. Sesaat setelah lahir jabang bayi kembar Nakula-Sadewa, setelah Kunti menyatakan kesanggupannya untuk merawat dan membesarkan mereka, Dewi Madrim, adik Prabu Salya, atas nama cinta menyusul arwah suaminya. Ia lakukan upacara pembakaran diri.
Tapi, kenapa Sri Kresna kok hanya meminta Sadewa? Kenapa sang Harimurti itu tidak juga mencoba meminta Nakula untuk menjelaskan cinta?
”Sudah jangan kebanyakan nanya,” potong Madusudana alias Kresna. ”Halaman Wayang Durangpo Minggu ini sudah hampir habis. Nanti lakonnya ndak rampung-rampung.”
Agar cerita cepat rampung, ringkasnya, Dewi Rasawulan sudah bersimpuh dan merangkul betis Raden Sadewa tanpa disadari oleh Sadewa karena bungsu Pandawa ini sedang khusu’ menjelaskan arti cinta.
”….Dan cinta tak kenal pengorbanan,” lanjut Sadewa. ”Cinta perlu pengorbanan? Hmm…Itu salah kaprah. Kamu mencintai seseorang? Kamu tak akan pernah merasa berkorban untuk seseorang itu. Sesamudera apa pun kesusahan dan jerih payah yang telah kamu lakukan…”
Baru setelah ucapan itu Sadewa tersadar Dewi Rasawulan telah merangkul dan menciumi betisnya. Sadewa oncat meninggalkan taman Selamerah. Bersamaan itu datanglah Prabu Dirgamayapati dari Kerajaan Simbarmanyuro yang ingin merebut paksa Dewi Rasawulan. Gatutkaca tanggap. Pamannya langsung diamankan, yaitu secara magis dikecilkan dan dimasukkan ke dalam kancing gelung di kepala Gatutkaca.
Prabu Dirgamayapati masih terus memburu Dewi Rasawulan, hingga sang dewi kepontal-pontal dan nyaris seluruh busananya tanggal. Gatutkaca akhirnya sanggup melindungi Rasawulan. Tanpa pikir panjang, sang putri yang sudah nyaris telanjang itu dikecilkan dan dimasukkannya ke dalam kancing gelung yang sama.
Hah? Setengah telanjang? Apa yang lalu terjadi pada kancing gelung Gatutkaca yang di dalamnya ada perjaka tenguk-tenguk itu? Yo, embuh, Rek. Yang jelas, setelah malam menanjak di kancing gelung Gatutkaca itu ada gamelan Kebogiro dan Monggang bertalu-talu, ada tebu dan kelapa cengkir, serta melengkunglah janur kuning di Bumirawatu. ***
www.sujiwotejo.com
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda