Rabu, 04 Mei 2011

Susu Mengalir dari Payudara Bima

HARI keramat 1 Juni. Fajar belum menyingsing. Limbuk wis gak sabar. Ia gedor-gedor pintu salon. Kontan yang punya salon geragapan. Matanya diucek-ucek. ”Hah? Di mana lagi ada kebakaran tabung gas…di mana… di mana?” tanyanya berkali-kali. Yang ditanya, anak semata wayang Cangik, ndak semaur malah langsung dia seret si tukang salon ke dalam. Di depan cermin Limbuk minta segera didandani pakai konde dan kebaya.

/stres
Waduh. Deloken nduk cermin. Sudah subur dan semok kan badan Limbuk? Tapi ponokawan gembrot ini masih minta dikasih korset. Mulane dadanya yang sudah semlohay tambah kelihatan mandul-mandul. Paniklah si emak, Cangik, yang tubuhnya kerempeng dan dadanya rata alias peres. ”Lha dodoku ndak ada apa-apanya ini yok opo, Nduk, Limbuk,” tanyanya gelisah. Limbuk kasih kode ke tukang salon agar dada emaknya biar munjung disumpel helm saja, yang penting SNI (Standar Nasional Indonesia).
Usai dari salon matahari sudah sepenggalah. Sudah sampailah Limbuk dan Cangik di suatu lapangan perbatasan negeri Astina dan Amarta. Cangik dadanya munjung, sudah ndak peres lagi. Lebih-lebih Limbuk. Truk saja pasti mendal-mendal kalau nabrak dada Limbuk.

Panitia keramaian sudah menyambut mereka di gapura. Limbuk sambil memunjungkan dadanya sendiri bertanya apakah pakaiannya sudah cocok. ”Tanggal 1 Juni ini kan ditetapkan sebagai Hari Susu Nusantara,” kata Limbuk sambil sekali lagi membusungkan dadanya.
”Lho, bukankah 1 Juni ini hari lahirnya Pancasila?” Panitia membatin sambil plonga-plongo. Setahu mereka, masyarakat sekarang berkumpul untuk memperingati lahirnya galian Bung Karno. Mereka akan menyaksikan lomba pidato tentang Pancasila. Mereka juga berdebar-debar menunggu hasil kejuaraan. Bagaimana ndak penasaran, konon juara 1 lomba pidato tentang dasar negara itu akan dijadikan ketua KPK, ngganti Pak Antasari. Juara duanya jadi calon tunggal gubernur Bank Indonesia, ngganti Pak Boediono.
***
Di lapangan perbatasan Astina-Amarta itu ternyata bukan cuma bergerombol mereka yang ingin merayakan Hari Susu Nusantara dan hari lahirnya Pancasila. Panitia tambah panik. Ternyata ada golongan lain lagi, yaitu kerumunan anak-anak muda yang ingin berangkat ke Jalur Gaza. Kawula muda itu menyangka bahwa kumpul-kumpul itu diadakan untuk pembekalan sebelum mereka berangkat membantu rakyat Palestina memerangi Israel.
Hampir seluruh panitia menepuk keningnya sendiri. Belum lagi, di pintu masuk, masih sering terjadi pertengkaran.
Ponokawan Limbuk dan Cangik yang sudah berdandan cantik dan memperindah bentuk payudaranya tersinggung pada ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong yang datang membawa susu binatang. Limbuk dan Cangik ndak terima susunya disamakan dengan susu binatang. Gareng membawa susu kambing sekambing-kambingnya. Petruk nyangking susu sapi sesapi-sapinya. Bagong nyunggi susu kuda liar sekuda-kuda liarnya.
”Aku sama emakku sudah ke salon mruput, pakai korset sampai napasku seseg. Emakku dadanya sudah ndak peres lagi, terus enak saja kamu samakan nilai kami dengan susu kambing!!!?” Limbuk marah-marah.
Gareng berkilah, justru susu-susu binatang itulah yang lebih tepat dibawa ke lapangan. ”Ingat, Hari Susu Nusantara itu dicanangkan oleh Kementerian Pertanian yang mengurus peternakan. Bukan Menteri Pemberdayaan Perempuan…Bukan…,” kata Gareng.
Petruk kasih bumbu, ”Hari Susu Nusantara itu maksudnya ya memang susu binatang. Karena kita ini masih kurang minum susu. Baru 9 liter per orang per tahun. Malaysia saja per tahun sudah 25,4 liter. Singgapor malah 32 liter…Lha Vietnam saja sudah 10,7 liter…”
Bagong tidak sempat tukaran dengan Limbuk-Cangik. Ia malah lagi eker-ekeran dengan petugas gerbang. Mereka ndak kasih izin kuda liar masuk ke duyunan orang di lapangan. Bagong ngotot. ”Matamu lihat. Ini bukan kebo. Ini kuda liar. Lihat. Yang nggak boleh dibawa ke keramaian itu cuma kerbau…karena ada pemimpin yang tersinggung…Pemimpin yang tersinggung sama jaran kan belum ada?”
***
Kepanikan panitia berlipat-lipat ketika acara dangdut dan uji nyali sudah selesai dan menginjak ke acara lomba pidato tentang Pancasila. Maklum lomba ini hadiahnya besar. Kabarnya sampai Rp 15 miliar. Berarti sama dengan Dana Aspirasi anggota DPR.
Kepanikan panitia begini: pendaftarnya begitu banyak, termasuk mantan-mantan calon anggota DPR yang nggak kepilih padahal sudah tombok banyak duit. Hadiah Rp 15 M lumayan untuk bayar utang-utang keperluan kampanye dulu. Tapi mereka cuma siap membawakan pidato tentang Pancasila. Mereka ndak siap ngomong soal susu dan Jalur Gaza, padahal sebagian penonton ingin mendengarkan pidato perkara itu.
Tak heran setiap peserta disoraki. Ada yang malah dilempar-lempar botol minuman. ”Kami datang untuk Hari Susu Nusantara, bukan untuk mendengarkan sila-sila,” kata sebagian penonton yang dadanya sudah nggak ada yang peres lagi, mungkin karena pakai korset dan ganjal. Sebaliknya, ketika peserta lain mengubah pidatonya menjadi melulu soal susu, massa lainnya ganti protes.
”Edan. Jauh-jauh kami datang untuk mendengarkan Pancasila…Kalau soal susu, mending kita dengarkan pidato Julia Perez, eh, Julia Munjung…Jauh-jauh kami datang, kami ingin tahu, kenapa tabung gas 3 kg bikin perkara terus tapi pemerintah kok diem saja, nggak bertanggung jawab. Di mana tanggung jawab Pertamina dan kontraktor-kontrakror yang bikin tabung, yang ditangkapi kok malah anggota masyarakat…Malah masyarakat yang dibilang lalai menggunakan tabung itu. Ini kan bertentangan dengan keadilan sosial dalam Pancasila. Dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Nah, kami ingin mendengar pidato kayak gitu…”
Belum lagi protes dari fans Palestina. Tapi panitia cukup senang ketika ada satu peserta yang cukup kreatif. Dia gabungkan-gabungkan dalam pidatonya perkara penyerangan Israel ke kapal bantuan kemanusiaan Mavi Marmara, Hari Susu Nusantara, dan Pancasila.
Tapi masih juga ada rombongan lain yang protes. ”Kenapa soal kasih sayang ayah tidak disebut-sebut dalam pidato. Kito datang dari Pekanbaru. Kota wong kito menetapkan 1 Juni sebagai Hari Ayah. Jadi tak cuma kaum ibu saja yang punya Hari Ibu, 22 Desember…Itulah alasan kito tiba kemari…”
Ah, tak ada satu peserta pun yang memuaskan seluruh hadirin. Akhirnya panitia meminta Petruk untuk ikut menjadi peserta lomba pidato dan menggabungkan seluruh tema termasuk tema Hari Ayah. Ini karena Petruk dikenal sebagai orang yang paling seenaknya dan tanpa beban kalau ngomong.
Berikut ini cuplikan sambutan Petruk dengan nomor peserta 17-8-45.
”Sedulur-sedulur. Ndak cuma tabung gas 3 kg yang ngancam kita. Pekan ini orang-orang Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, juga protes ke pemerintah karena ada bau gas gara-gara eksplorasi energi di kawasan itu. Coba simak, ada kota di Nusantara yang namanya pakai susu. Ini kan bukti, kita memang bangsa yang suka susu.
Tapi kenapa Indonesia rendah konsumsi susunya? Karena ibu-ibu malu menyusui anaknya. Kenapa malu, karena kaum laki-laki suka mengintip atau mencuri-curi pandang. Persis ketika anak Kresna, Raden Samba alias Wisnubrata mengintip payudara Dewi Wilutama.
Ingat kan ceritanya?
Raden Samba sangat mencintai kakak iparnya, Dewi Hagnyanawati. Saking kelimpungan-nya, Wisnubrata sampai membangun terowongan yang tembus ke peraduan istri Prabu Boma Narakasura itu. Di terowongan yang gelap, Samba dibantu penerangan dari belakang. Sumber cahayanya adalah payudara Dewi Wilutama. Pesan sang Dewi, Wisnubrata jangan pernah menengok ke belakang. Eh, saking penasarannya, ksatria dari Paranggaruda itu noleh juga. Marahlah Dewi Wilutama. Sejak itu perempuan Nusantara malu mengeluarkan payudara untuk kasih ASI (air susu ibu) anaknya.
Yang belum malu adalah kambing, sapi, dan kuda liar. Ndak tahu kalau nanti mereka ikut-ikutan malu karena sesungguhnya kuda adalah jelmaan dari Dewi Wilutama.
Nah, padahal kalau konsumsi susu kita meningkat, kita makin sehat. Kalau kita sehat, makin banyak lagi yang mampu berangkat membantu rakyat Palestina. Kalau kapal sampek ndak muat saking banyaknya yang mau ke Jalur Gaza, para pemuda itu bisa dialihkan dikirim ke berbagai tempat di Indonesia sendiri untuk jadi relawan memerangi koruptor dan kemiskinan di tanah airnya sendiri, karena kemelaratan jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.”
”Soal Hari Ayah-nya mana?” penonton dari Pekanbaru protes. Petruk langsung kasih tanggapan.
”Ayah harus penuh kasih dan sayang pada anak. Dalam lakon Bima Kopek, Bima yang gagah perkasa itu keluar kopek alias payudaranya dan menyusui keponakannya sendiri, Abimanyu alias Jaka Pengalasan. Sampai akhirnya Wahyu Widayat yang spiritnya sama dengan Pancasila itu menurun kepada ksatria dari Palangkawati itu. Wahyu Widayat sebelumnya dimiliki oleh Bima.”
Wuuaaah….Gemuruh tepuk tangan rata di seluruh lapangan menyambut pidato Petruk. Semua golongan terpuaskan.
Petruk dinyatakan sebagai pemenang tunggal. Tak ada juara dua. Maka Petruk disuruh memilih, mau dapat mentahnya saja yaitu Rp 15 M seperti Dana Aspirasi Anggota DPR, atau jabatan gubernur Bank Indonesia merangkap ketua KPK.
Petruk mesam-mesem. Baru akan memilih, ia terbangun dari tidurnya. (*)
www.sujiwotejo.com

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Didukung oleh NewPurwacarita

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda